Sabtu, 25 Juni 2011

Biografi A. H. Nasution

BIOGRAFI
JENDERAL BESAR ABDUL HARIS NASUTION ( 1918-2000 )

            Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun.
            Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.
            Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
            Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
            Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nas pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.
            Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.
            Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.
            Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.
            Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.
            Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.
            Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.
            Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
            Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
            Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.
            Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.
            Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).
            Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri (seorang terbunuh).
            Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik ”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.
            Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.
            Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab pertanyaan seorang wartawan Amerika, ”Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan”.

Biografi beliau :
Nama               : Abdul Haris Nasution
Pangkat           : Jenderal Bintang Lima
Lahir                : Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal       : Jakarta, 6 September 2000
Agama             :Islam
Istri                  : Ny. Johanna Sunarti

Pendidikan      :
Ø  HIS, Yogyakarta (1932)
Ø  HIK, Yogyakarta (1935)
Ø  AMS Bagian B, Jakarta (1938)
Ø  Akademi Militer, Bandung (1942)
Ø  Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
Ø  Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
Ø  Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
Ø  Universitas Mindanao, Filipina (1971)

Karir :
Ø  Guru di Bengkulu (1938)
Ø  Guru di Palembang (1939-1940)
Ø  Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
Ø  Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
Ø  Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
Ø  Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
Ø  Panglima Komando Jawa (1948-1949)
Ø  KSAD (1949-1952)
Ø  KSAD (1955-1962)
Ø  Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
Ø  Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
Ø  Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)
Ø  Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)
Ø  Ketua MPRS (1966-1972)

Alamat Rumah            : Jalan Teuku Umar 40, Jakarta Pusat Telp: 349080



                                                                                                           





PEMBAHASAN
            Adalah merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini pernah dikaruniai seorang putra bangsa sekaliber almarhum Pak Nas, seorang Jenderal yang sangat lurus dan bersahaja. Di sela-sela kesibukan kita, dimana kita semakin tidak hirau akan perjuangan pendahulu-pendahulu kita, ada baiknya apabila momen ini kita manfaatkan untuk dapat sedikit mengenali lebih dekat sosok beliau, menyimak nasehat-nasehat beliau sebagai salah seorang sepuh bangsa yang telah banyak berkorban bagi bangsa & negara. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa beliau merupakan salah satu peletak dasar-dasar pembentukan TNI, khususnya TNI AD. Beliau juga merupakan sosok pemikir sejati, dimana buku beliau yang fenomenal, yakni “Pokok-Pokok Perang Gerilya” (Fundamentals of Guerilla Warfare) telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan menjadi bacaan wajib di banyak akademi militer di berbagai belahan dunia.
            Di bawah ini saya lampirkan nukilan dari wawancara beliau dengan Republika pada bulan Desember 1995. Wawancara ini cukup menarik, karena banyak memberikan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan yang selama ini ditujukan kepada beliau. Dalam wawancara ini, beliau juga memberikan pemaparan yang lugas tentang bagaimana sebaiknya sikap seorang warganegara dalam beragama dan berbangsa.
            Saya secara pribadi –bukan institusi- sangat setuju dengan pendapat beliau ini, bahwa kebangsaan bukan berarti penyamarataan maupun penyeragaman total yang menghilangkan dan memangkas habis perbedaan. Perbedaan suku, agama, ras dan golongan itu adalah lumrah, dan justru merupakan kekayaan sekaligus kekuatan bagi bangsa ini. Seorang warga negara tidak harus menanggalkan kesukuan maupun keagamaan serta identitas lain yang melekat pada dirinya hanya atas nama persatuan. Bukan persatuan semacam itu yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh founding fathers bangsa ini. Justru karena pada hakikatnya berbeda itulah dinamakan “persatuan”, karena sesuatu memang disatukan disebabkan pada hakikatnya berbeda.
            Almarhum Pak Nas, sebagai salah seorang putera terbaik bangsa, yang pengabdian dan pengorbanannya kepada bangsa ini tidak diragukan lagi, dimana beliau benar-benar dengan nyata (tidak sekedar wacana) telah berkorban dengan jiwa, keluarga & harta benda, sangat patut kita teladani, dan kita tidak bisa meneladani seseorang tanpa mengenalinya. Tulisan ini adalah salah satu upaya bagi kita agar kita tidak lupa sejarah, tidak lupa kepada para pendahulu kita, agar kita ingat, bahwa hari ini tidak datang begitu saja, melainkan didahului oleh hari-hari di masa lampau dimana para pendahulu kita telah berjuang dan berkarya.
Jenderal (Purn) AH. Nasution: Sekarang ini Kesempatan Saya Beramal Saleh
Republika Online, 22 Des 1995
            Awal Desember lalu (3/12), the old soldier Jenderal TNI Purn. Abdul Haris Nasution genap berusia 77 tahun. Acara ulang tahunnya itu berlangsung sederhana di ruang belakang rumahnya yang sudah tua, di Jalan Teuku Umar 40, Jakarta. Hanya ada sekitar 10 meja bulat dan dihadiri hanya oleh kerabat dekat. Diiringi group band Amorez, acara itu hanya diisi sambutan dari seorang kerabat keluarganya, Ny. Abdulrahman, Sekretaris Umum Yayasan Perguruan Cikini -- di sini A.H. Nasution menjabat sebagai ketua umumnya. Lalu dari keluarga, diwakili oleh cucu tertuanya, Edi dan menantunya, Edward Nurdin.
            Menurut Pak Nas -- panggilan akrab A.H. Nasution -- yang kini hidup tenang bersama istrinya Johana Sunarti, semula ia tidak ada niatan untuk memestakan hari ulang tahunnya. Namun karena desakan keempat cucunya -- Eka Trisna Edyanti (Edi), Marisa Edyana (Icha), Marina Edyana (Ina), dan Vita, akhirnya ia pun menyerah. "Saya jadi harus capek lagi," tuturnya sehari sebelum acara itu.
            Dalam sambutan singkatnya, Edi tak sanggup menahan tangis. Air matanya deras meleleh membasahi pipinya. "Saya tak akan melupakan pesan-pesan Opa agar bersujud syukur saat gembira dan berwudlu saat sedih," katanya. Pak Nas pun tak kuasa menahan haru mendengar sambutan cucunya itu. Matanya tampak berkaca-kaca. Bahkan terlihat air mata itu mulai menggantung di kelopak matanya.
            Menurut Pak Nas, yang terpenting dari peringatan hari ulang tahun adalah bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat Allah SWT yang berupa panjang usia itu. Dan cara mensyukurinya adalah dengan memperbanyak amal saleh. Pak Nas lalu mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya dan banyak amal salehnya, dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang usianya tapi buruk perbuatannya.”
            Berbagai pesan moral itu selalu ia pompakan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, bahkan juga kepada anak buahnya ketika ia masih aktif dinas.
            Menurut beberapa kenalannya, Pak Nas memang dikenal sebagai tokoh yang "bersih" dan bermoral, baik ketika masih aktif dinas maupun setelah di luar dinas. "Dalam politik, akhlaqlah yang harus menjadi panglima. Mulailah sesuatu dengan ketaqwaan," ujarnya kepada Republika.
            Pesan-pesan moralnya tidak hanya terlihat dari jejak langkahnya, tapi juga dari puluhan buku yang ditulisnya. Karena itu dalam ulang tahunnya yang ke-77, ia justru hanya memberikan sebendel tulisan. Tulisan itu, kini masih berupa ketikan di atas kertas HVS. Dalam map warna hijau, pesan-pesan itu terkumpul dalam tiga tema: biografi dirinya yang akan dicetak sebuah penerbitan, sebuah tulisan yang ditujukan buat generasi muda dalam rangka 50 tahun Indonesia merdeka, dan tentang Esa Hilang Dua Terbilang.
            "Apa yang tertulis dalam kumpulan buku pesan-pesan saya itu, baca dan pelajari. Saya akan kontrol sampai di mana dipelajari dan dihayati. Dan jangan ditunda-tunda," tutur Pak Nas kepada para cucunya. Bendelan tulisan itu diterima cucunya, Edi. "Tulisan itu agar dibaca semua cucu dan pacarnya," kata Bu Nas menimpali.
            Mantan Ketua MPRS ini juga dikenal akan kesederhanaannya. Selain memberikan hadiah tulisan buat para cucunya, Pak Nas juga memberikan bingkisan kepada pembantunya, Alba. Lelaki ini selalu telaten mengurus Pak Nas yang mulai uzur. "Setiap shalat lima waktu, dia selalu menunggui saya," komentas Pak Nas tentang pembantunya ini.
            Lagu-lagu lama maupun lagu-lagu Tapanuli meramaikan suasana. Tapi yang membuat hadirin bertepuk tangan justru ketika Bu Nas meminta lagu Halo-Halo Bandung. "Ini untuk mengenang masa cinta saya dengan Bapak," tutur Bu Nas yang bertemu Pak Nas di Bandung.
            Pak Nas lahir di Hutapungkut, Kotanopan, Tapanuli, 3 Desember 1918. Pria yang pernah menjadi guru partikelir di Bengkulu ini merupakan salah satu peletak dasar pembangunan TNI AD. Ia juga pernah menjadi Wakil Panglima Besar mendampingi Panglima Besar Soedirman.



            Biografi ini sedikit memberikan pengetahuan tentang beliau, pencipta buku gerilya yang termasyhur apalagi jungle warfareny. Pernah diceritakan, sutu ketika pernah Jenderal Abdul Haris Nasution ( Pak Nas ) ketika rapat gersama perwira dan pejabat militer Soviet di Soviet dulu, ketika tiba waktu sholat/ibadah beliau meminta agar rapat di break agar bisa melaksanakan sholat/ibadah terlebih dahulu. Bukunya menjadi standard perang gerilya dibeberapa negara. Jenderal Abdul Haris Nasution ( Pak Nas ) adalah tentara terbaik dan terloyal yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, dari perang kemerdekaan, Orde lama, Orde baru hingga akhir hayat beliau selalu disengsarakan hidupnya, dikucilkan dsb, tapi beliau tetap tegak berdiri membela NKRI. Hidup Jenderal Besar (Purn) AH Nasution !! Jenderal besar yang tegas dan memiliki prinsip hidup yang jelas, plus jujur dan yang pasti seorang manusia yang hingga akhir hayatnya tidak membutuhkan penghormatan/kehormatan untuk diangkat menjadi “Pahlawan Nasional” seperti yang diributkan sekarang ini, tentang Gusdur dan Suharto oleh segelintir orang dan politikus-politikus bangsa ini.
Bangsa ini membutuhkan anak bangsa seperti ini, NKRI harga mati!!












Referensi :
http://www.tandef.net/mengenang-jenderal-besar-ah-nasution dikutip tanggal 16 Juni 2011 pukul 23.51 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar