Minyak menjadi pencemar laut
nomor satu di dunia. Sebagian diakibatkan aktivitas pengeboran minyak dan
industri. Separuh lebih disebabkan pelayaran serta kecelakaan kapal tanker.
Wilayah Indonesia sebagai jalur
kapal internasional pun rawan pencemaran limbah minyak. Badan Dunia Group of
Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP) mencatat sekitar 6,44
juta ton per tahun kandungan hidrokarbon dari minyak telah mencemari perairan
laut dunia. Masing-masing berasal dari transportasi laut sebesar 4,63 juta ton,
instalasi pengeboran lepas pantai 0,18 juta ton, dan sumber lain (industri dan
pemukiman) sebesar 1,38 juta ton.Limbah minyak sangat berpengaruh terhadap
kerusakan ekosistem laut, mulai dari terumbu karang, mangrove sampai dengan
biota air, baik yang bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan,
reproduksi dan proses fisiologis lainnya). Hal ini karena adanya senyawa
hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi, yang memiliki komponen senyawa
kompleks, seperti Benzena, Toluena, Ethilbenzena dan isomer Xylena
(BTEX)Senyawa tersebut berpengaruh besar terhadap pencemaran.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim, Muhamad Karim mengatakan dampak dari pencemaran
minyak laut paling dirasakan oleh nelayan. “Akibat tumpahan minyak, terumbu
karang, ikan dan biota laut mati. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari
mencari ikan di laut tidak bisa meraih hasil tangkapan,” ujarnya.
Karim menjelaskan, minyak dan air
laut tidak bisa menyatu. Karena berat masanya lebih ringan. Akibat ini pula
minyak yang mengambang menutupi permukaan laut sehingga karang-karang sebagai
tempat tinggal dan sumber makanan ikan mati.
”Seperti yang terjadi di
Balikpapan. Akibat tumpahan minyak selama enam bulan nelayan di sana tidak bisa
mencari ikan. Ini karena tumpahan minyak yang mereka kenal Lantung,”
katanya.Menurut Karim, wilayah yang paling rentan dari pencemaran lingkungan
akibat tumpahan minyak adalah di masyarakat pesisir. Sebab 70 persen pengeboran
minyak ada di lepas pantai.
Selain itu, jalur laut yang biasa
dilalui kapal-kapal tanker yang mengangkut berjuta-juta ton barel minyak,
seperti di wilayah Selat Malaka dan Teluk Jakarta.
Pencemaran lingkungan yang harus
bertanggung jawab adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan
Kementerian Lingkuhan Hidup (KLH), Kementerian Perindustrian dan Perdagangan,
DKP, TNI AL, Pertamina dan pemerintah daerah. Mereka menjadi ujung tombak dalam
pencegahan dan penanggulangan polusi laut.
Banyak kasus-kasus seperti ini
hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan tuntas. Contohnya adalah
kasus pencemaran di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Diketahui pencemaran
ini sudah terjadi sejak 2003 dan dalam kurun waktu 2003-2004 tercatat
berlangsung 6 kali kejadian. Namun sampai saat ini pemerintah belum mampu
mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi membayar
ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar
instansi pemerintah dan kepolisian dalam menuntaskan kasus. Harus diakui
Indonesia tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pencegahan dan
penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut.
“Sebagai contoh tumpahan minyak
di Teluk Meksiko. Pemerintah Amerika Serikat dengan tegas meminta ganti rugi
kepada perusahaan yang bertanggung jawab, mereka pun patuh,” ujarnya.
Yang terjadi di Indonesia
sebaliknya. Mereka tidak bisa menindak tegas bahkan menghitung kerugian, mulai
dari jumlah ikan yang mati, kerugian nelayan dan kerugian meteril lainnya.
“Kasus tumpahan minyak Cevron di Balikpapan misalnya, justru masyarakat yang
pro aktif. Mereka yang melakukan pengawasan lingkungan laut. Karena mereka
menggantungkan hidup di sana,” ujarnya.
Karim menegaskan, tumpahan minyak
kian waktu menjadi kekhawatiran seluruh lapisan masyarakat atas ketersediaan
lahan hidup bagi warga pesisir. Karena itu kegiatan monitoring dan kontrol
menjadi sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut
dari tumpahan minyak.
·
Awal Mula Pencemaran Minyak di Laut
Sejak peluncuran kapal pengangkut
minyak pertama Gluckauf pada 1885, dan penggunaan pertama mesin diesel kapal
(tiga tahun kemudian), penomena pencemaran laut oleh minyak muncul. Sebelum
perang Dunia II sudah ada usaha-usaha untuk membuat peraturan mengenai
pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut. Namun, baru terpikirkan setelah
terbentuk International Maritime Organization (IMO) dari Badan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948.
Usaha membuat peraturan yang
dapat dipatuhi semua pihak dalam organisasi tersebut masih ditentang banyak
pihak. Baru pada 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan
pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution Convention yang mencari cara
untuk mencegah pembuangan campuran minyak dari pengoperasian kapal tanker dan
dari kamar mesin.Selanjutnya disusul amandemen tahun 1962 dan 1969 untuk
menyempurnakan kedua peraturan tersebut. Jadi sebelum tahun 1970 masalah
Maritime Pollution baru pada tingkat prosedur operasi.
Pada 1967 terjadi pencemaran
terbesar, ketika tanker Torrey Canyon yang kandas di pantai selatan Inggris
menumpahkan 35 juta gallons crudel oil dan telah merubah pandangan masyarakat
International di mana sejak saat itu mulai dipikirkan bersama pencegahan
pencemaran secara serius.
Sebagai hasilnya adalah “
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships pada 1973
yang kemudian disempurnakan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention )
Protocol pada 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978.
Konvensi ini berlaku secara
International sejak 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL 73/78 sangat
komplek dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari secara intensif.
Implikasi langsung terhadap kepentingan lingkungan Maritim dari hasil
pelaksanaannya memerlukan evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun
pihak industri suatu negara.
Sebagai contoh Jepang, dalam hal
pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut, antara
birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah terintegrasi dengan
baik. Kasus kandasnya kapal tanker milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan
19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997, sebagai bukti keberhasilan
negara tersebut dalam penanggulangan tumpahan minyak. Mereka bekerja sama
saling membantu dalam penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari
seluruh tumpahan dapat diselesaikan.