Rabu, 12 September 2012

Minyak di Laut: Antara Energi dan Pencemaran



Minyak menjadi pencemar laut nomor satu di dunia. Sebagian diakibatkan aktivitas pengeboran minyak dan industri. Separuh lebih disebabkan pelayaran serta kecelakaan kapal tanker.
Wilayah Indonesia sebagai jalur kapal internasional pun rawan pencemaran limbah minyak. Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP) mencatat sekitar 6,44 juta ton per tahun kandungan hidrokarbon dari minyak telah mencemari perairan laut dunia. Masing-masing berasal dari transportasi laut sebesar 4,63 juta ton, instalasi pengeboran lepas pantai 0,18 juta ton, dan sumber lain (industri dan pemukiman) sebesar 1,38 juta ton.Limbah minyak sangat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem laut, mulai dari terumbu karang, mangrove sampai dengan biota air, baik yang bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan, reproduksi dan proses fisiologis lainnya). Hal ini karena adanya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi, yang memiliki komponen senyawa kompleks, seperti Benzena, Toluena, Ethilbenzena dan isomer Xylena (BTEX)Senyawa tersebut berpengaruh besar terhadap pencemaran.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Muhamad Karim mengatakan dampak dari pencemaran minyak laut paling dirasakan oleh nelayan. “Akibat tumpahan minyak, terumbu karang, ikan dan biota laut mati. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari ikan di laut tidak bisa meraih hasil tangkapan,” ujarnya.
Karim menjelaskan, minyak dan air laut tidak bisa menyatu. Karena berat masanya lebih ringan. Akibat ini pula minyak yang mengambang menutupi permukaan laut sehingga karang-karang sebagai tempat tinggal dan sumber makanan ikan mati.
”Seperti yang terjadi di Balikpapan. Akibat tumpahan minyak selama enam bulan nelayan di sana tidak bisa mencari ikan. Ini karena tumpahan minyak yang mereka kenal Lantung,” katanya.Menurut Karim, wilayah yang paling rentan dari pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak adalah di masyarakat pesisir. Sebab 70 persen pengeboran minyak ada di lepas pantai.
Selain itu, jalur laut yang biasa dilalui kapal-kapal tanker yang mengangkut berjuta-juta ton barel minyak, seperti di wilayah Selat Malaka dan Teluk Jakarta.
Pencemaran lingkungan yang harus bertanggung jawab adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Kementerian Lingkuhan Hidup (KLH), Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, DKP, TNI AL, Pertamina dan pemerintah daerah. Mereka menjadi ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan polusi laut.
Banyak kasus-kasus seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan tuntas. Contohnya adalah kasus pencemaran di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Diketahui pencemaran ini sudah terjadi sejak 2003 dan dalam kurun waktu 2003-2004 tercatat berlangsung 6 kali kejadian. Namun sampai saat ini pemerintah belum mampu mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian dalam menuntaskan kasus. Harus diakui Indonesia tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut.
“Sebagai contoh tumpahan minyak di Teluk Meksiko. Pemerintah Amerika Serikat dengan tegas meminta ganti rugi kepada perusahaan yang bertanggung jawab, mereka pun patuh,” ujarnya.
Yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Mereka tidak bisa menindak tegas bahkan menghitung kerugian, mulai dari jumlah ikan yang mati, kerugian nelayan dan kerugian meteril lainnya. “Kasus tumpahan minyak Cevron di Balikpapan misalnya, justru masyarakat yang pro aktif. Mereka yang melakukan pengawasan lingkungan laut. Karena mereka menggantungkan hidup di sana,” ujarnya.
Karim menegaskan, tumpahan minyak kian waktu menjadi kekhawatiran seluruh lapisan masyarakat atas ketersediaan lahan hidup bagi warga pesisir. Karena itu kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari tumpahan minyak.
·         Awal Mula Pencemaran Minyak di Laut
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak pertama Gluckauf pada 1885, dan penggunaan pertama mesin diesel kapal (tiga tahun kemudian), penomena pencemaran laut oleh minyak muncul. Sebelum perang Dunia II sudah ada usaha-usaha untuk membuat peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut. Namun, baru terpikirkan setelah terbentuk International Maritime Organization (IMO) dari Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948.
Usaha membuat peraturan yang dapat dipatuhi semua pihak dalam organisasi tersebut masih ditentang banyak pihak. Baru pada 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution Convention yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dari pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin.Selanjutnya disusul amandemen tahun 1962 dan 1969 untuk menyempurnakan kedua peraturan tersebut. Jadi sebelum tahun 1970 masalah Maritime Pollution baru pada tingkat prosedur operasi.
Pada 1967 terjadi pencemaran terbesar, ketika tanker Torrey Canyon yang kandas di pantai selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons crudel oil dan telah merubah pandangan masyarakat International di mana sejak saat itu mulai dipikirkan bersama pencegahan pencemaran secara serius.
Sebagai hasilnya adalah “ International Convention for the Prevention of Pollution from Ships pada 1973 yang kemudian disempurnakan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention ) Protocol pada 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978.
Konvensi ini berlaku secara International sejak 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL 73/78 sangat komplek dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari secara intensif. Implikasi langsung terhadap kepentingan lingkungan Maritim dari hasil pelaksanaannya memerlukan evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak industri suatu negara.
Sebagai contoh Jepang, dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut, antara birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah terintegrasi dengan baik. Kasus kandasnya kapal tanker milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan 19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997, sebagai bukti keberhasilan negara tersebut dalam penanggulangan tumpahan minyak. Mereka bekerja sama saling membantu dalam penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari seluruh tumpahan dapat diselesaikan.

PEMBERSIHAN TUMPAHAN MINYAK DI LAUT



Tumpahan minyak kelaut dari kapal tanker / kapal lainnya dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu sebagai berikut :
Pembuangan minyak yang timbul sebagai akibat dari Pengoperasian kapal selama menyelenggarakan pencucian tangki
Pembuangan air bilge ( got ) yang mengandung minyak,
Tumpahan yang berasal dari kecelakaan pelayaran antara lain kandas, tenggelam, tabrakan dan lain-lain,
Tumpahan minyak selama Loading, discharging atau bunkering

Tumpahan Minyak Kapal Tanker
Sebab terjadinya tumpahan minyak dari kapal yaitu kerusakan mekanis dan kesalahan manusia,
·         Kerusakan Mekanis
Kerusakan dari sistem peralatan kapal,
Kebocoran badan kapal,
Kerusakan katup-katup hisab atau katup pembuangan kelaut,
Kerusakan selang-selang muatan
·         Kesalahan Manusia
Kurang pengetahuan / pengalaman,
Kurang perhatian dari personil
Kurang ditaatinya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
Kurang pengawasan.
Kerusakan mekanis dapat diatasi dengan sistem pemeliharaan dan perawatan yang lebih baik serta pemeriksaan berkala oleh pemerintah / Biro Klasifikasi. Kesalahan manusia dapat diatasi dengan memberikan training kepada personil kapal untuk meningkatkan ketrampilan mereka sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih efektif. Menerapkan sepenuhnya persyaratan perijasahan personil kapal.
·         Cara pembersihan tumpahan minyak
Pengalaman menunjukanbahwa pembersihan minyak tidak selalu sama, tergantung situasinya. Tumpahan minyakdalam daerah yang sempit dapat diisolir dengan mudah dibandingkan dengan daerah yang luas.
Ada beberapa cara dalam pembersihan tumpahan minyak :
·         Pembersihan tumpahan minyak Secara mekanik
Memakai boom atau barrier akan baik pada laut yang tidak berombak dan yang arusnya tidak kuat (maksimum 1 knot). Juga dipakai untuk tebal yang tidak melampaui tinggi boom. Posisi boom dibuat menyudut, minyak akan terkempul disudut dan kemudian dihisap dengan pompa. Umumnya pompa hanya mampu menghisap sampai pada ketebalan minyak sebesar ¼ inchi. Air yang terbawa dalam minyak akan terpisah kembali.
·         Pembersihan tumpahan minyak Secara Absorbents
Zat untuk meng-absorb minyak ditaburkan di atas tumpahan minyak dan kemudian zat tersebut diangkut yang berarti minyak akan turut terangkat bersamanya. Umumnya zat yang digunakan meng-absorb tersebut antara lain : lumut kering, ranting, potongan kayu, talk. Sekarang banyak juga zat pengabsorb dibuat dari bahan sintetis, yaiyu dari polyethelene, polystyrene, polypropylene dan polyrethane
·         Menenggelamkan tumpahan minyak
Seatu campuran 3.000 ton kalsium karbonat yang ditambah dengan 1 % sodium stearate pernah dicoba dan berhasil menegelamkan 20.000 ton minyak. Cara ini masih banyak dipertentangkan karena dianggap akan memindahkan masalah kerusakan oleh minyak kedasar laut yang relatif merusakan kehidupan. Tetapi untuk laut-laut dalam hal ini tidak memberikan efek yang berarti.
·         Pembersihan tumpahan minyak menggunakan Oil Discharge Monitoring ( ODM )
Oil Discharge dipakai untuk memonitor dan mengontrol pembuangan ballast di kapal tanker yang disesuaikan dengan peraturan / persyaratan.
Oil Discharge Monitoring (ODM) terdiri dari :
Oil content meter, meter supply pump dan homogenizer (Oilcon),
Flow rate indicating system,
Control section, recording device dan alarm (Central Control Unit : CCU),
Overboard discharge control
Ship’s LOG.
Siatem dan Fungsi Oil Discharge Monitoring (ODM) yaitu Ballast yang akan dibuang melalui overboard discharge akan diukur pada measurement cell dari oilcon. Hasil dari pengukuran ini akan dirubah ke signal listrik dan digunakan sebagai petunjuk pada control box yang terletak di cargo control room, kadar minyak dari contoh air ditunjukan pada control box.
Besarnya buangan ballast yang melalui overboard discharge akan dideteksi oleh odifice flow meter yang ditempatkan pada discharge line. Hasil catatan ini dirubah ke Pneumatic signal dan diteruskan ke P / E converter di cargo control room. Pencatatan kecepatan kapal didapatkan dari ship’s yang diteruskan ke CCU di cargo control room Dari CCU kemudian dihitung, hasil pencatatan di CCU kemudian dicatat jumlah minyak yang terbuang. CCU mengeluarkan tanda apabila kondisi sesuai dengan peraturan tanda di CCU berhenti dan membunyikan alarm apabila kondisi melampaui peraturan.
·         Membersihkan tumpahan minyak menggunanakan Oil Content Meter, Meter Supply dan Homogenizer ( OILCON )
Prinsip Dasar Oil Content Meter, Meter Supply dan Homogenizer ( OILCON ) Teknik pengukuran yang dipakai di oilcon adalah pada scattered light (pancaran sinar). Pancaran sinar/cahaya lewat melalui sebuah cell pencatat. Besarnya cahaya ( IS ) ditunjukan dengan sudut tergantung pada density dan jumlah minyak yang dibuang dan gelombang radiasi. Oleh karena itu konsentrasi minyak pada contoh air dapat diukur dengan mendeteksi kemampuan ID (direct light) dan IS (scattered light).
·         Oily Water Separator
Cara Kerja Oily Water Separator yaitu Limbah minyak yang didapat dari pompa sepanjang tank (bilge
feed pump) mengalir kedalam coarse separating chamber melalui oily water inlet pada primary coloumn dan berputar-putar perlahan dalam ruangan pemutar (Chamber tangentially). Sebagai hasilnya, banyak minyak mengalir ke Oil collecting chamber. Kemudian limbah minyak memasuki fine separating chamber melalui bagian tengah pada buffle plate dan mengalir disekitarnya ke water collecting pipe melalui celah-celah diantara pelat-pelat penangkap minyak (oil catch plate). Dalam proses ini minyak mengapung dan menempel pada kedua sisi dari masing-masing plate penangkap, minyak dan air sudah terpisah. Sesudah pemisahan ini, air melewati lubang kecil pada water collecting pipe (pipa pengumpul air) dan mengalir ke secondary separation coloumn (ruangan pemisah kedua) dengan cara melalui tempat keluar air (treated water outlet).

Pencemaran Laut “Mengancam Potensi Sumberdaya dan Lingkungan Maritim”




Pencemaran laut merupakan suatu peristiwa masuknya material pencemar seperti partikel kimia, limbah industri, limbah pertanian dan perumahan, ke dalam laut, yang bisa merusak lingkungan laut. Material berbahaya tersebut memiliki dampak yang bermacam-macam dalam perairan. Ada yang berdampak langsung, maupun tidak langsung.
Sebagian besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun melalui tumpahan. Salah satu penyebab pencemaran laut adalah kapal yang dapat mencemari sungai dan samudera dalam banyak cara. Misalnya melalui tumpahan minyak, air penyaring dan residu bahan bakar. Polusi dari kapal dapat mencemari pelabuhan, sungai dan lautan. Kapal juga membuat polusi suara yang mengganggu kehidupan organisme perairan, dan air dari balast tank yang bisa mempengaruhi suhu air sehingga menganggu kenyamanan organisme yang hidup dalam air.
Bahan pencemar laut lainnya yang juga memberikan dampak yang negatif ke perairan adalah limbah plastik yang bahkan telah menjadi masalah global. Sampah plastik yang dibuang, terapung dan terendap di lautan. Sejak akhir Perang Dunia II, diperkirakan 80 persen sampah plastik terakumulasi di laut sebagai sampah padat yang mengganggu eksositem laut.  Massa plastik di lautan diperkirakan yang menumpuk hingga seratus juta metrik ton. Kondisi ini sangat berpengaruh buruk, dan sangat sulit terurai oleh bakteri. Sumber sampah plastik di laut juga berasal dari Jaring ikan yang sengaja dibuang atau tertinggal di dasar laut.
Limbah kimia yang bersifat toxic (racun) yang masuk ke perairan laut akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya. Kelompok limbah kimia ini terbagi dua, pertama kelompok racun yang sifatnya cenderung masuk terus menerus seperti pestisida, furan, dioksin dan fenol. Terdapat pula logam berat, suatu unsur kimia metalik yang memiliki kepadatan yang relatif tinggi dan bersifat racun atau beracun pada konsentrasi rendah. Contoh logam berat yang sering mencemari  adalah air raksa, timah, nikel, arsenik dan kadmium.
Ketika pestisida masuk ke dalam ekosistem laut, mereka segera diserap ke dalam jaring makanan di laut. Dalam jaring makanan, pestisida ini dapat menyebabkan mutasi, serta penyakit, yang dapat berbahaya bagi hewan laut, seluruh penyusun rantai makanan termasuk manusia. Racun semacam itu dapat terakumulasi dalam jaringan berbagai jenis organisme laut yang dikenal dengan istilah bioakumulasi. Racun ini juga diketahui terakumulasi dalam  dasar perairan yang berlumpur. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan mutasi keturunan dari organisme yang tercemar serta penyakit dan kematian secara massal seperti yang terjadi pada kasus yang terjadi di Teluk Minamata.
Bahan kimia anorganik lain yang bisa berbahaya bagi ekosistem laut adalah nitrogen, dan fosfor. Sumber dari limbah ini umumnya berasal dari sisa pupuk pertanian yang terhanyut kedalam perairan, juga dari limbah rumah tangga berupa detergent yang banyak mengandung fosfor. Senyawa kimia ini dapat menyebabkan eutrofikasi, karena senyawa ini merupakan nutrien bagi tumbuhan air seperti alga dan phytoplankton. Tingginya konsentrasi bahan tersebut menyebabkan pertumbuhan tumbuhan air ini akan meningkat dan akan mendominasi perairan, sehingga menganggu organisme lain bahkan bisa mematikan.
Muara merupakan wilayah yang paling rentan mengalami eutrofikasi karena nutrisi yang diturunkan dari tanah akan terkonsentrasi. Nutrisi ini kemudian dibawa oleh air hujan masuk ke lingkungan laut, dan cendrung menumpuk di muara. The World Resources Institute telah mengidentifikasi 375 hipoksia (kekurangan oksigen) wilayah pesisir di seluruh dunia. Laporan ini menyebutkan kejadian ini terkonsentrasi di wilayah pesisir di Eropa Barat, Timur dan pantai Selatan Amerika Serikat, dan Asia Timur, terutama di Jepang. Salah satu contohnya adalah meningkatnya alga merah secara signifikan (red tide) yang membunuh ikan dan mamalia laut serta menyebabkan masalah pernapasan pada manusia dan beberapa hewan domestik. Umumnya terjadi saat organisme mendekati ke arah pantai.
Lautan biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Karena kadar karbon dioksida atmosfer meningkat, lautan menjadi lebih asam. Potensi peningkatan keasaman laut dapat mempengaruhi kemampuan karang dan hewan bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang atau rangka. Kehidupan laut dapat rentan terhadap pencemaran kebisingan atau suara dari sumber seperti kapal yang lewat, survei seismik eksplorasi minyak, dan frekuensi sonar angkatan laut. Perjalanan suara lebih cepat di laut daripada di udara.
Hewan laut, seperti paus, cen­derung memiliki penglihatan lemah, dan hidup di dunia yang sebagian besar ditentukan oleh informasi akustik. Hal ini berlaku juga untuk banyak ikan laut yang hidup lebih dalam di dunia kegelapan. Dilaporkan bahwa antara tahun 1950 dan 1975, ambien kebisingan di laut naik sekitar sepuluh desibel (telah meningkat sepuluh kali lipat). Jelas sekarang bahwa sumber pencemaran sangat bervariasi. Tidak hanya dari hal-hal yang menurut kita hanya bisa dilakukan oleh industri besar, namun juga bisa disebabkan oleh aktiftas harian kita.

Pencemaran Laut Indonesia Memprihatinkan
Tingkat pencemaran lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan terjadinya eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh polutan. “Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusdatin KKP), Soen`an H. Poernomo.
Pencemaran di laut bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton atau algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk.  Kasus-kasus pencemaran di lingkungan laut, yang disebut red tide itu, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.
Di Ambon terjadi pada tahun 1994 dan 1997, di perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007, dan di Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989.  Meski kerap terjadi, inventarisasi terjadinya red tide di Indonesia sampai saat ini masih belum terdata dengan baik, termasuk kerugian yang dialami. “Mungkin kurangnya pendataan red tide ini disebabkan oleh kejadiannya yang hanya dalam waktu singkat,” katanya. Karena itu untuk menanggulangi red tide sebagai bencana, beberapa lembaga Pemerintah dan institusi pendidikan telah melakukan penelitian meskipun masih dilakukan secara sporadis.
Secara umum, kerugian secara ekonomi akibat dari red tide ini, adalah tangkapan nelayan yang menurun drastis, gagal panen para petambak udang dan bandeng, serta berkurangnya wisatawan karena pantai menjadi kotor dan bau oleh bangkai ikan. Efek terjadinya red tide juga ditunjukkan penurunan kadar oksigen serta meningkatnya kadar toksin yang menyebabkan matinya biota laut, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organisme laut.
“Akibat lautan tertutup dengan algae pada saat berlimpah, maka matahari sulit untuk menempuh ke dasar laut dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam laut,” katanya. Selain itu, sebagian algae juga mengandung toksin atau racun yang dapat menyebabkan matinya ikan dan mengancam kesehatan manusia bahkan menyebabkan kematian apabila mengkonsumsi ikan yang mati tersebut. “Tanpa adanya limbah, sebagai fenomena alam sesungguhnya meningkatnya pertumbuhan algae ini sangat jarang terjadi,” katanya.
Sementara Slamet Daryoni dari Walhi Jakarta mengatakan bahwa pencemaran berat terutama di kawasan laut dekat muara sungai dan kota-kota besar. Selain karena polusi yang berasal dari limbah industri yang berlebihan, pencemaran  laut juga disebabkan oleh ekploitasi minyak dan gas bumi di lautan. Namun yang paling penting adalah akibat kebijakan dan perhatian pemerintah yang sangat kurang terhadap kelautan di Indonesia.
Selanjutnya Slamet Daryoni menjelaskan bahwa di sisi lain, tingkat pencemaran di beberapa kota termasuk di Jakarta sudah sangat memprihatinkan, sebagai contoh, adalah karena ada kaitan dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada lingkungan. Di perairan Teluk Jakarta saja, kondisi cemar beratnya sudah mencapai 62 pesen. Padahal ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan, pusat kebijakan. Terlebih lagi ketika pemerintah membuat kebijakan mengenai hal ini di tahun 2007. Lalu mengenai sungai, DKI Jakarta memiliki tiga sungai. Pencemaran dalam konteks cemar beratnya kini mencapai 94 persen.
Slamet Daryoni juga menjelaskan mengenai kegiatan ekplorasi gas dan minyak yang berdekatan dengan laut. Sisa pembuangannya dibuang di lautan. Misalnya kita lihat kembali kasus Minahasa yang mengakibatkan warga mengalami sakit yang luar biasa akibat arsen, mercuri dan zat kimia lainnya.

Mengenal Pencemaran Laut



Belakangan kita sering membaca kejadian pencemaran laut. Berbagai pihak mengeluhkan salah satu ancaman terhadap lingkungan ini. Beberapa menyalahkan industri besar yang kurang peduli, lainnya menyebutkan hanya kesalahan prosedur, lainnya beranggapan semua punya potensi untuk mencemari laut. Berikut lebih jauh dibahas tentang seluk beluk pencemaran laut.
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya.
Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder(menyaring air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi anoxic.
Sebagian besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun melalui tumpahan. Berikut beberapa sumber polutan yang masuk ke laut.
Buangan Kapal
Kapal dapat mencemari sungai dan samudera dalam banyak cara. Antara lain melalui tumpahan minyak, air penyaring dan residu bahan bakar. Polusi dari kapal dapat mencemari pelabuhan, sungai dan lautan. Kapal juga membuat polusi suara yang mengganggu kehidupan liar alam, dan air dari balast tank dapat menyebarkan ganggang/alga berbahaya dan spesies asing yang dapat mempengaruhi ekosistem lokal.
Salah satu kasus terburuk dari satu spesies invasif menyebabkan kerugian bagi suatu ekosistem, yang tampaknya tidak berbahaya salah satunya adalah ubur-ubur. Mnemiopsis leidyi, suatu spesies ubur-ubur yang tersebar, sehingga sekarang mendiami muara di banyak bagian dunia.
Pertama kali ditemukan pada tahun 1982, dan diduga telah dibawa ke Laut Hitam dalam air pemberat kapal. Populasi ubur-ubur melonjak secara eksponensial dan pada tahun 1988, hal tersebut mendatangkan malapetaka atas industri perikanan lokal.
Plastik
Plastik telah menjadi masalah global. Sampah plastik yang dibuang, terapung dan terendap di lautan. 80% (Delapan puluh persen) dari sampah di laut adalah plastik,  sebuah komponen yang telah dengan cepat terakumulasi sejak akhir Perang Dunia II.  Massa plastik di lautan diperkirakan yang menumpuk hingga seratus juta metrik ton.
Plastik dan turunan lain dari limbah plastik yang terdapat di laut berbahaya untuk satwa liar dan perikanan. Organisme perairan dapat terancam akibat terbelit, sesak napas, maupun termakan.
Jaring ikan yang terbuat dari bahan plastik, kadang dibiarkan atau hilang di laut. Jaring ini dikenal sebagai hantu jala  sangat membahayakan lumba-lumba, penyu, hiu, dugong, burung laut, kepiting, dan makhluk lainnya. Plastik yang membelit membatasi gerakan, menyebabkan luka dan infeksi, dan menghalangi hewan yang perlu untuk kembali ke permukaan untuk bernapas.
Racun
Selain plastik, ada masalah-masalah tertentu dengan racun yang tidak hancur dengan cepat di lingkungan laut. Terbagi dua, pertama kelompok racun yang suafatnya cenderung masuk terus menerus seperti pestisida, furan, dioksin dan fenol. Terdapat pula logam berat, suatu unsur kimia metalik yang memiliki kepadatan yang relatif tinggi dan bersifat racun atau beracun pada konsentrasi rendah. Contoh logam berat yang sering mencemari  adalah air raksa, timah, nikel, arsenik dan kadmium.
Ketika pestisida masuk ke dalam ekosistem laut, mereka segera diserap ke dalam jaring makanan di laut. Dalam jaringmakanan, pestisida ini dapat menyebabkan mutasi, serta penyakit, yang dapat berbahaya bagi hewan laut , seluruh penyusun rantai makanan termasuk manusia.
Racun semacam itu dapat terakumulasi dalam jaringan berbagai jenis kehidupan air dalam proses yang disebut bioakumulasi. Racun ini juga diketahui terakumulasi dalam  dasar perairan, seperti muara dan teluk berlumpur. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan mutasi keturunan dari organisme yang tercemar serta penyakit dan kematian secara massal seperti yang terjadi pada kasus yang terjadi di Teluk Minamata.
Eutrofikasi
Peristiwa Eutrofikasi adalah kejadian peningkatan/pengkayaan nutrisi, biasanya senyawa yang mengandung nitrogen atau fosfor, dalam ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan produktivitas primer (ditandai peningkatan pertumbuhan tanaman yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk). Efek lebih lanjut termasuk penurunan kadar oksigen, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organisme lain.
Muara merupakan wilayah yang paling rentan mengalami eutrofikasi karena nutrisi yang diturunkan dari tanah akan terkonsentrasi.  Nutrisi ini kemudian dibawa oleh air hujan masuk ke lingkungan laut , dan cendrung menumpuk di muara.
The World Resources Institute telah mengidentifikasi 375 hipoksia (kekurangan oksigen) wilayah pesisir di seluruh dunia. Laporan ini menyebutkan kejadian ini terkonsentrasi di wilayah pesisir di Eropa Barat, Timur dan pantai Selatan Amerika Serikat, dan Asia Timur, terutama di Jepang. Salah satu contohnya adalah meningkatnya alga merah secara signifikan (red tide) yang membunuh ikan dan mamalia laut serta menyebabkan masalah pernapasan pada manusia dan beberapa hewan domestik. Umumnya terjadi saat organisme mendekati ke arah pantai.
Peningkatan keasaman
Lautan biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Karena kadar karbon dioksida atmosfer meningkat, lautan menjadi lebih asam. Potensi peningkatan keasaman laut dapat mempengaruhi kemampuan karang dan hewan bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang atau rangka.
Polusi Kebisingan
Kehidupan laut dapat rentan terhadap pencemaran kebisingan atau suara dari sumber seperti kapal yang lewat, survei seismik eksplorasi minyak, dan frekuensi sonar angkatan laut. Perjalanan suara lebih cepat di laut daripada di udara.
Hewan laut, seperti paus, cenderung memiliki penglihatan lemah, dan hidup di dunia yang sebagian besar ditentukan oleh informasi akustik. Hal ini berlaku juga untuk banyak ikan laut yang hidup lebih dalam di dunia kegelapan. Dilaporkan bahwa antara tahun 1950 dan 1975, ambien kebisingan di laut naik sekitar sepuluh desibel (telah meningkat sepuluh kali lipat).
Jelas sekarang bahwa sumber pencemaran sangat bervariasi. Tidak hanya dari hal-hal yang menurut kita hanya bisa dilakukan oleh industri besar, namun juga bisa disebabkan oleh aktiftas harian kita.